“Hhh… bukankah ini terik sekali, Jo,” kata seorang anak kepada teman yang duduk di sampingnya. Ia berusaha mengatasi peluh yang terus bercucuran dari dahi dekilnya itu dengan diusap-usap ke kanan dan kiri bahu. Keringat hangat bercampur kotoran kulit membuat kain kaosnya yang lusuh jadi kian kumal. “Yoi, Man! Banget. Nggak kuat aku sampai. Aus banget nih tenggorokanku,” sahut Johar yang tidak kalah dekilnya dari Aman. Bedanya, ia masih lebih manis dan ganteng.Kalau mereka sekolah, Johar sekarang sudah duduk di kelas empat SD, sedangkan Aman lebih muda setahun darinya. Mereka berdua sama-sama dekil, kumal, dan keringatan. Kulit mereka yang tak pernah dilindungi dari ganasnya terik matahari tampak cokelat kehitam-hitaman. Hampir gosong. Tentu saja karena tak ada yang dapat mereka gunakan sebagai penutup badan kecuali kaos oblong tipis yang didapatkan satu tahun sekali itu. Kaosnya pun sekarang sudah usang. Pasti telah mereka gunakan untuk menyeka keringat mereka bertahun-tahun. Sungguh kaos yang sangat setia. Dan seperti kaos yang setia itu pula, mereka masih setia menjajakan apa saja di daerah ini, meskipun panas dan debu selalu menemani.“Ayo bangun, Man! Kita tidak boleh kalah dari matahari itu. Nanti kita tidak dapat minum kalo dagangan kita nggak laku-laku.” Johar bangkit dari duduknya tanpa merasa malas. Ditariknya tangan sahabatnya yang kecil itu untuk segera bangkit. Aman sedikit enggan. Namun ditepisnya jua perasaan itu demi seplastik es teh super dingin yang melayang-layang di kepalanya. “Hhmmm… pastilah segar menikmatinya di siang yang begitu panas seperti ini,” pikir Aman dalam hati. Lidahnya sedikit menjilat membuat Johar tersenyum geli melihatnya. “Ayo, Bung!” teriak Johar. Aman berdiri. Disabetnya seplastik besar kantong dagangannya. Kali ini mereka menjajakan tissue. Maka turunlah kaki-kaki mungil itu dari jembatan penyeberangan tempatnya beristirahat untuk kembali ke jalanan yang panas menjajakan tissue.“Pak, tissuenya, Pak?” tawar Johar dengan senyum ceria kepada seorang lelaki tua di warung pinggir jalan. Lelaki itu hanya mengangkat sebelah tangannya tanpa menoleh. “Terima kasih, Pak,” jawab Johar dengan sopan. Maka ia pun beralih ke lelaki yang satu dengan senyuman yang masih ceria. Lelaki itu lebih necis, semoga ia butuh tissue hari ini. Barangkali saja mau digunakan untuk melap sepatu kantornya. Namun ternyata lelaki itu pun sedang tidak memerlukan tissue. “Terima kasih, Om.” Masih dengan senyum yang manis Johar membalas gelengan lelaki itu. Tampaknya ia masih asyik mengunyah makanan. Mungkin ia tak sempat berpikir untuk membeli tissue saat ini. Nanti saja ia kembali kalau pria itu sudah selesai makan. Ia yakin tak ada penjual makanan di sini yang menyediakan tissue di warungnya. Layaknya bocah yang sedang gembira, ia pun keluar dan berjalan kembali dengan lincahnya mencari orang yang sedang kegerahan. Sayup-sayup terdengar suaranya menjajakan tissue kepada setiap orang yang dijumpai. Dan seperti yang tadi, mereka juga acuh. Johar hanya membungkuk sedikit sambil berucap terima kasih.Lebih beruntung dari Johar, kali ini Aman telah mendapatkan satu pembeli baru pertama untuk hari itu. Seorang wanita muda. Ia baru saja keluar dari kompleks perbelanjaan. Ia membeli tiga pak kecil sekaligus dari Aman. Anak itu girang dibuatnya. Namun ia bingung saat wanita itu menyerahkan uang sepuluh ribuan. “Maaf, uang ribuan saja, Mbak. Saya tidak punya kembaliannya,” tukas Aman polos. “Nggak usah, nggak papa. Buat Adek aja kembaliannya,” jawab wanita itu ramah. Namun Aman menolak.“Tapi kan ini uang Mbak. Kembaliannya banyak lho,” tukas Aman. Dahi wanita itu berkerut.“Sebentar!” kata Aman kemudian. Ia segera berlari menghampiri Johar yang tak jauh darinya. “Jo! Tuker uang, dong,” katanya sembari menyodorkan sepuluh ribuan itu ke Johar. “Nggak punya, Man! Ini aja belum ada yang laku.”Aman menatap kantong hitam dagangan Johar. Penuh. Ia berpikir sejenak. Lalu kembali berlari lagi ke arah wanita tadi yang masih berdiri menunggu.“Mbak, bentar ya saya tukerin ke warung dulu.” Aman berlaril kecil masuk ke dalam warung yang tadi dimasuki Johar. “Pak? Bisa tuker uang sepuluh ribuan sama receh?” tanyanya ke seorang bapak. Bapak itu melongok isi dompetnya. “Wah, cuma ini, Dek,” katanya mengeluarkan uang tiga ribu rupiah. “Nggak usah udah, Dek!” teriak wanita tadi yang berdiri tak jauh dari warung. Ia kemudian berpaling meninggalkan mereka. Aman bengong. Cepat-cepat disambarnya uang tiga ribu itu dan memberikan sepuluh ribuan ke tangan bapak. Lalu dikejarnya Mbak yang belum jauh berjalan. “Mbak, Mbak! Ini kembaliannya. Maaf ya, kurang. Saya ganti pake tissue aja, ya?” Aman mengeluarkan empat pak tissue dan menyerahkannya pada si Mbak yang masih terheran-heran. Aman kembali ke bapak yang uangnya tadi ia sambar. “Pak, saya boleh tuker uangnya dulu? Nanti uang tiga ribu Bapak saya kembalikan,” tawar Aman.Bapak itu menyerahkan sepuluh ribuan tadi kepada Aman. Namun tidak ia tunggu anak itu yang masih menukarkan uangnya ke tukang ojek. Ia segera bangkit meninggalkan warung setelah Aman pergi. Johar yang melihatnya berusaha menghampiri, tapi bapak itu keburu menyeberang.“Man, cepet, Man!” teriaknya pada Aman yang berlari-lari kecil dari kejauhan. “Wah, telat, Man! Bapaknya udah pergi. Aku nggak sempet nyusul ke seberang. Jalanan rame,” lapor Johar saat Aman tiba. “Yah, gimana dong, ini? Uangnya udah aku tukerin. Punya bapak itu diapakan?”“Hmm… Kita simpen aja, Man. Siapa tahu besok-besok kita ketemu lagi sama bapak itu. Kita tunggu deket warung sini,” usul Johar. Aman berpikir sejenak.“Mm… betul, betul. Kalau gitu sekarang kita beli es aja, Jo!”“Jangan lupa setorin separuhnya, Man.”Aman menghitung uangnya sebentar. “Sepuluh ribu, uang bapak tadi tiga ribu. Tujuh ribu disetorin setengahnya tinggal tiga setengah. Kita beli es teh tiga bungkus sisa lima ratus, Jo.”“Pinter juga kamu berhitung, Man!”Aman mendongak. Meringis. “Eh, adik-adik…! Ini mas bawain es buat kalian.” Aman memberikan dua bungkus es yang baru dibelinya kepada dua anak kecil yang menerimanya dengan wajah sumringah. “Wah… asiiik…! Makasih ya, Mas Aman, Mas Jo!” ujar kedua bocah itu berbarengan.Aman dan Johar tersenyum lalu keluar dari bilik kardus tempat kedua bocah itu berdiam. “Adikmu nggak ngamen?” tanya Johar seraya menyeruput es tehnya.“Tadi pagi. Semoga nanti aku bisa bawa pulang nasi bungkusan buat mereka,” jawab Aman tersenyum. Sama sekali tak terpikirkan olehnya apakah doanya akan terkabul atau tidak.“Sini esnya. Aku kan juga mau,” ujar Aman seraya menarik bungkus es yang masih diseruput Johar. Terpaksa diserahkannya es itu pada Aman meskipun ia masih haus. Giliran Aman minum es.
Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini
Senin, 05 Oktober 2009
Langganan:
Postingan (Atom)